Kamis, 18 Oktober 2012

Motivasi

Pilihlah jalan hidupmu.......!!!!!!!!
Sebelum pilihan menentukan jalan hidupmu......!!!!!!!


By Arazzzz

Motivasi

Jalanilah kehidupan ini seperti air mengalir, tapi kalian harus tau kemana arah aliran air tersebut....!!!!

By Arazzzz

Menyatu Dengan Allah SWT

Untuk menyatu dengan Allah SWT, ada tiga pilar yang wajib kita satukan yaitu : 1. AQIDAH yang murni, 2. SYARI'AH yamg benar, 3.AKHLAK yang mulia. Dengan demikian kita akan mencapai derajat TAKWA, sehingga dalam diri kita hanya terdapat sifat-sifat Ilahia yang akan menuntun kita ke Alam kesadaran universal. Yaitu alam yang tidak ada pembeda antara manusia dengan Allah SWT, dan manusia dengan manusia yang lain. Karena pada hakekatnya semua umat manusia mamiliki sifat-sifat Ilahia, baik yang beragama Kristen,Budha, dan Hindu. Itu semua akan menyatu dalam alam kesadaran universal. Di mana tidak ada pembeda antara manusia yang satu dengan yang lain.....

By Arazzzzzzzzz

Senin, 15 Oktober 2012

Motivasi

Tidak ada kata BERHENTI untuk sebuah perjuangan...!!!
Tidak ada kata MUNDUR untuk sebuah keadilan...!!!
Tidak ada kata TAKUT untuk sebuah kebenaran...!!!
Karena keadilan dan kebenaran memang pantas diPERJUANGKAN...!!!

Minggu, 14 Oktober 2012

Motivasi

Keberanian yang sesungguhnya yaitu, ketika kau bisa mengalahkan rasa takutmu dalam memperjuangkan kebenaran......!!!!!!!!

PMII DAN TANTANGAN GLOBALISASI



Mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam bagan penimba ilmu pengetahuan (pelajar, student), dengan berbagai bekal pengalaman empiris dan kemampuannya mendayagunakan kognitifme berpikir-baca rasionalitas- maka mahasiswa dipandang mempunyai kelebihan dan kedewasaan dalam bersikap maupun bertindak disetiap persoalan. Hal inilah yang menurut penulis sebagai modal mahasiswa menunjukkan identitas dan eksistensinya dengan berbagai model gerak dan kiprah dimasyarakat maupun bangsa dan Negara. Padahal tidak ada aturan yang yang membedakan antara mahasiswa dan pelajar dalam gerak maupun kiprahnya dalam masyarakat secara aktif semisal advokasi, demo dan sebagainya.
Perwujudan eksistensi inilah yang menimbulkan berbagai macam bentuk peran yang dilakukan oleh mahasiswa yang tentu saja peran itu sesuai dengan kapasitas pikiran mereka. Tak dapat kita pungkiri berbagai macam organisasi yang ada ditingkat mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus merupakan salah satu dampak dari polarisasi pikiran mereka. Almarhum Bapak Mohammad Natsir (mantan Perdana Menteri Indonesia) pernah mengatakan,” Tidak ada percetakan yang bisa mencetak pemimpin”. Menurut Natsir lagi, pemimpin tidak lahir di bilik kuliah tetapi tumbuh sendiri dalam hempas pulas di kancah gelandangan ummah, muncul di tengah-tengah pergumulan masalah, menonjol dari kalangan rekan-rekan seangkatannya, lalu diterima dan didukung oleh umat. Justeru itu,kertas kerja ini akan memperlihatkan bagaimana kepimpinan mahasiswa di kampus harus diperkasakan dalam melahirkan golongan intelektual yang akan menjadi harapan ummah pada masa akan datang. Tambahan pula, kebanyakan mahasiswa tidak mampu mendepani ledakan arus globalisasi yang kian menghimpit struktur masyarakat kini. Harus diingat, gerakan mahasiswa merupakan suatu kuasa yang harus diambil perhatian kerana ia mempunyai sejarah yang tersendiri. Maka tidak hairanlah pemimpin dari peringkat Negara sehinggalah di peringkat masyarakat lahir daripada mantan pimpinan kampus di era 70an dulu.
Sejarah banyak mencatat tokoh-tokoh besar lahir dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam pergulatan politik yang ada. Pergerakan Mahasisawa Islam Indonesia lahir pada tanggal 17 april 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia pada waktu itu.
Keberadaan PMII dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan PMII menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Pada sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami polarisasi dalam entitas dan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda, bahkan acapkali bertentangan satu sama lain. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang melingkupinya, seperti perbedaan ideologi, strategi dan lainnya.
PMII sebagai salah satu orgainisasi mahasiswa yang masih eksis dalam kancah pergerakan mahasiswa di Indonesia diharapkan mampu untuk membawa perubahan-peruabahan bagi kamajuan Indonesia akan tetapi banyak hal-hal kedepan yang menjadi tantangan PMII untuk memujudkan cita-citanya membawa Indonesia kearah lebih baik.
Globalisasi :
Eksistensi dan posisi gerakan mahasiswa dihadapkan pada sebuah realitas dunia global yang tidak bisa dihindarkan. Arus globalisasi telah menyentuh berbagai sendi kehidupan manusia di dunia. Cepatnya arus globalisasi menurut William K.Tabb (2003) mampu membentuk rezim perdagangan dan keuangan dunia serta mendefinisikan ulang kesadaran pada tingkat yang paling dekat dan lokal, mempengaruhi bagaimana orang memandang dirinya, ruang gerak anak-anak mereka dan entitas mereka sehingga mengalami perubahan akibat kekuatan globalisasi ini. Persoalannya adalah bagaimana sikap kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) terhadap realitas global ini. Apakah gerakan mahasiswa menolaknya secara radikal atau hanya cukup memahaminya atau mempersiapkan diri untuk ikut berkompetisi dan memposisikan diri sejajar dengan mereka secara wajar ?.
Gesekan dunia global menjadi tren dalam kondisi saat ini, karenanya seluruh kader PMII perlu memahami secara benar tentang realitas-realitas dunia yang sedang mengalami pergolakan dalam berbagai unsur kehidupan. Melihat trend (Trend Watching) yang terjadi dalam pergeseran dunia global adalah kerangka dalam memahami apa yang sedang terjadi hari ini, dan apa yang akan kita lakukan di masa-masa yang akan datang. Tren yang terjadi hari ini adalah dominasi kekuatan global yang tidak bisa dihindarkan dalam ranah kesadaran ummat manusia. Dalam kondisi seperti ini, langkah yang harus dilakukan adalah pembangunan kemampuan dan kapabilitas (kompetensi) personal maupun kolektif.
Globalisasi memang tidak bisa dipungkiri lagi dan ditahan perkembangannya namun sebagai sebuah etkana mahasiswa pmii harus bisa untuk mengcounter agar tidak terbawa arus atau kita akan ditinggalkan olah jaman, untuk itu ada beberapa langkah agar kita sebagai sebuah pergerakan tidak mati
Dari Membaca ke analisis :
Seperti tersebut diatas bahwa mahasiswa merupakan struktur tertinggi dalam bagan ilmu pengetahuan maka PMII sebagai salah satu gerakan yang unsurnya tidak lepas dari dunia kemahasiswaan yang setiap hari berkutat dengan keilmuan, ironis jika gerakan mahasiswa terjadi banyak kejumudan. Karenanya tradisi-tradisi yang ada diantaranya tradisi membaca harus di imbangi dengan tradisi menganalisa berbagai aspek persoalan dengan berpikir logis dan mendalam. Tipe masyarakat inilah yang menjadi miniatur lahirnya peradaban manusia maju dan menyejarah. Maju karena masyarakat ini menempatkan ilmu sebagai sinar dalam kehidupan. Menyejarah, karena mereka membuat sebuah kejutan bagi lahirnya paradigma baru bagi terciptanya masyarakat yang ilmiah (knowledge society).
Realitas ini sesuai dengan wahyu yang pertama kali diturunkan kepada nabi Muhammad saw, yaitu konsep membaca (iqra). Dengan turunnya wahyu yang pertama ini, maka ada sebuah perubahan berdimensi wahyu yang mampu memberikan jawaban atas kondisi kemanusiaan. Konsep pembacaan atas realitas baik yang bersangkutan dengan teologi, etika, visi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan berawal dari proses pemahaman yang radikal akan hakikat dan subtansi nilai yang terkandung dalam surat tersebut.
Dimensi pembangunan gerakan mahasiswa agar ilmiah di awali dengan konsep membaca (iqra), sesuatu yang berhubungan bukan hanya dengan membaca teks dan naskah tetapi lebih dari itu, makna iqra bisa berarti menelaah, meriset, merenungkan, bereksperimen, berkontemplasi. Objeknya bisa berupa kalam illahi maupun hadist rosullah dan hasil kaya manusia baik berupa handbook ilmu pengetahuan dan budaya maupun fenomene-fenomena sosial politik.
Pemahaman Kontekstual
Ilmu pengetahuan yang didapat dari dunia kampus merupakan pemahaman-pemahaman materi yang bersifat tekstual karena itu diperlukannya sebuah penelaahaan dan penyeimbangan terhadap pemahaman realitas sosial yang terjadi dimasyarakat. PMII seyogyanya tidak hanya berkubang dalam masalah pemahaman terhadap teks-teks saja akan tetapi harus jeli melihat perubahan dunia dari pemahaman teks –teks tersebut oleh karena itu pemahaman teks yang tersebar dalam berbagai literature harus bisa menjadi penyeimbang terhadap kondisi perubahan jaman. Disamping itu juga paradigm kader PMII harus bertumpu pada keseimbangan ideologis ilmu pengetahuan dengan ketajaman pisau analisis terhadap realitas persoalan-persoalan yang terjadi. PMII harus mampu membaca, mengkaji, dan berdiskusi secara logis, kritis, sistematis, dan komprehensif, serta mampu membedah persoalan dari berbagai aspek dan sudut pandang ilmu dan madzhab yang bersifat konstruktif. Hal ini harus menjadi kultur yang melekat disetiap kader-kader PMII. Dalam konteks kekinian kader PMII harus bisa bergaul dalam dimensi yang lebih luas agar kedepan kader PMII bisa menjawab dan memberikan solusi terhadap persoalan yang ada jika itu tidak bisa maka tidak dipungkiri PMII akan ditinggalkan oleh jaman yang sedang berubah untuk itu setiap kader harus mempunyai kompetensi-kompetansi yaitu 1) kemampuan berbahasa asing (2) kemampuan berorganisasi dan manajemen yang canggih (3) kemampuan membangun jaringan (net work).
Langkah-langkah rasional selanjutnya dalam menghadapi tatanan dunia global bagi kader PMII dalam dunia kampus adalah membangun kesadaran bersamadengan meningkatkan kompetensi dan skil dalam memposisikan diri supaya sejajar dengan bangsa-bangsa Barat dalam bidang ilmu Pegetahuan. Karenanya budaya dan tradisi yang selama ini dilakukan di kampus untuk digeser kearah perubahan paradigma yang lebih rasional. Perubahan paradigma tersebut meliputi perubahan sikap dalam memahami budaya dan tradisi yang ada.
Tidaklah kaku jika mahasiswa membangun dialog peradaban (civilization) di kampus, minimal ada dua paradigma visi dialog pembangunan masyarakat berperadaban. Pertama, perubahan eksistensi dan identitas diri, yang mampu melahirkan paradigma kehidupan sosial baru dan merdeka, bebas dari penghambaan terhadap unsur-unsur materi, melahirkan kehidupan segar, integral dan profetik. Era kehidupan yang syarat dengan nilai kemanusiaan dan bervisi masa depan. Tonggak fundamental pertama ini merupakan visi kehidupan ummat manusia kearah pembebasan diri, dari kungkungan materi yang menjadi ideologinya.Visi kehidupan ini mengarahkan manusia pada ideologi yang sesungguhnya dan menjadi benteng kekuatan para pewaris peradaban. Ini merupakan asas fundamental bagi terwujudnya masyarakat berperadaban. Proses ideologisasi kedalam tubuh masyarakat secara radikal harus dilakukan. Proses ini perlahan tapi pasti, proses inilah yang disebut dengan fase penanaman akidah. Kedua, yaitu pola pembangunan struktur pengetahuan ummat manusia yang secara bersamaan dilakukan dalam kerangka membangun kesadaran untuk membaca atas realitas yang sedang terjadi
Semoga tantangan global dalam perubahan jaman tidak membuat nalar kritis kita sebagai organ pergerakan terkebiri dan terjebak dalam hal-hal yang membuat idelisme kita tergadaikan dalam tataran pragmatisme.
Wallahulmuwafiq ilaa aqwamith thoriq
Wassalamu’alaikum…

Paradigma Kritis- Transformatif


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia[1]

Pendahuluan
           
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalm sikap dan dan prilaku organisasi. Disamping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menetukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.    
Organisasi PMII selama ini belum memiliki paradigma yang secara definitive menjadi acuan gerakan. Cara pandang dan bersikap warga pergerakan selama ini mengacu pada nilai dasar pergerakan (NDP). Karena tidak mengacu pada kerangka paradigmatic yang baku, upaya merumuskan dan membnagun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis dan baku, sehingga warga pergerakan sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut. Namun demikian, dalam masa dua periode kepengurusan terakhir (sahabat Muhaimin Iskandar dan sahabat Saiful Bachri Anshori) secara factual dan operasional ada karakteristim tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis, dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis. Dengan demikian secara umum telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat dihadapan negara yang otoriter, sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran kegamaan yang diyakini.

  • PENGERTIAN PARADIGMA

dalam  khazanah ilmu sosial, ada beberapa pengertian paradigma yang dibangun oleh oleh para pimikir sosiologi. Salah satu diantaranya adalah G. Ritzer yang memberi pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan kesatuan consensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu dan membedakan antara kelompok ilmuwan. Menggolongkan, mendefinisikan dan yang menghubungkan antara eksemplar, teori, metode serta instrumen yang terdapat di dalamnya. Mengingat banyaknya difinisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak dimabil oleh PMII. Hal ini peril dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma.
Berdasarkan pemikiran dan rumusan yang disusun oleh para ahli sosiologi, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah. Lewat paradigma ini pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam “mendekati”obyek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitan dengan bagaimana “realitas” dilihat. Perbedaan paradigma yang digunakan oleg seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalamm menyusun teori, membuat konstruk pemikiran, cara pandang, sampai pada aksi dan solusi yang diambil.

  • PILIHAN PARADIGMA PMII
Disamping terdapat banyak pengertian mengenai paradigma, dalam ilmu sosial ada berbagai macam jenis paradigma. Melihat realitas yang ada di masyarakat dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis maka PMII memilih paradigma kritis-transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.

  • PARADIGMA KRITIS-TRANSFORMATIF PMII
Dari penelusuran yang cermat atas paradigma kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan. Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya ia harus diletakkan pada posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam ahal ini penerapan paradigma kritis bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sacral, tetapi pada pesoalan yang profan. Lewat paradigma kritisdi PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
Sebagaimana dijelaskan di atas, pertama, paradigma krirtis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Kedua, paradigma kritis melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Ketiga, paradigma kritis membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga PMII.
Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual islam diantaranya :

  • HASSAN HANAFI
Penerapanparadigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperku-lukan analisis sosialm. Menirutmya selala ini mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan. Dia menemukan kelamahan mendasar dalam metodelogi ini. pada titik ini dia memberikan kritik tajamterhadap metode trandisional teks yang telah mengalami ideologis.
Untuk mengembaliakn peran agama dalam emnjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat, Hasan Hanafi mencoba menggunakan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian reralitas secara kongkrot untuk mengetahui siapa memilikiapa, agar realitas berbicara dengan dirinya senidiri. Sebagai realisasi deari metode ini, dia menawarkan “desentralisaisi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimagsudkan untuk menyelamatkan islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai tologi parexellence), melainkan juga sebagai sisitem pemikiran.
Usaha hansan hanafi ini ditempuh dengan mengadakan rekontruksi terhadap teologi tradisonal yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hermenutika dan ilmu sosial sebagai badian integral dari teologi. Untukl menjelaskan teologi menjadi antropologi, Hanafi memaknai teoligi sebagai Ilmi Kalam. Kalam merupakan realitas menusia sekaigus Ilahi. Kalam bersifat manusioawi karenan merupakan wujud verbal dari kehendalk Allah kedalam bentuk manusia dan bersifat Ilahi karena datang dari Allah. Dsalam pemikirab Hanafi, kalam lebih besifat “praktis” dari pada “logis”, karena kalam sebagi kehendak Allah-memiliki daya imperaktif bagi siapapun kalam itu disampaikan.
Pandangan Hanafi tentang teologi ini berbeda dengan teologi Islam yang secara tradisional dimengerti sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan mengenai akidah yang benar. Mutakallimin sering disebut sebagai “ahl al-ra’yu wa al-nadaar”  yang muncul untuk menghadapi “ahl-albid’ah” yang mengancam kebenaran akidah Islam. Dua kelompok ini akhirnya berhadapan secara dialektis. Akan tetapi dialektika mereka bukanlah dialektika tindakana, tetapi dialektika kata-kata. Gagasan teologi sebagai antropologi yang disampaikan oleh Hasan Hanafi sebenarnya justeru ingin menempatkan ilmu kalam sebagai ilmu tentang dialektika kepentingan orang-orang yang beriman dalam masyarakat tertentu.
Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara  ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “lewat subjudul; dari tuhan ke bum, dari keabadian ke waktu, dari taqdie ke hendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari kharisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology.



  • MOHAMMAD ARKOUN
Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidakdapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya “naif” karena mendekati agama atas dasar kepercayaan langsung tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan wahyu Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasikan dan dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas masyarakat teetentu ataupun dalam berbagai wacana khas ajaran teologi dan fiqh tertentu.
                 Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh berbagai ilmu pengetahuan modern, yang ingin dimasukkan arkoun ke dalam pemikiran Islam.
            Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti inu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowlrdge)
            Teori pengetahuan ini meliputi landasan epistimpologiy kajian tentang studi –studi agama Islam. Dalam hal ini arkoun membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis. Setiap wacana memeilki watak yang berbeda sehingga diperlukan kesesuaian  dengan wataknya. Selama ini orang dengan mudah menyatakan melakukan kajian secara ilmiah, akan tetapi itu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muslim, melainkan juga oleh orang-orang barat yang mengideologikan sikap mereka dalam memandang Islam. Salah satu corak ideologi adalah unsur kemadegan (tidak dinamis), resistensi (tidak kritis) dan demi kekuatan (tidak transformatif).
            Untuk merealisasikan jawaban tersebut Arkoun berusaha meletakkan dogma, interpretasi dan teks secara proporsional. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayah-wilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya.
            Kedua pola pikir dari intelektaual islam di atas merupakan sedikit contoh yang bisa dijadikan model bagaimana paradigma kritis diberlakukan  dalam wilayah pemikiran keagamaan. Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalammenfdekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya.
            Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.
            Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan Islam (yang diterapkan PMII). Namun demikian harus diakui adanya persamaan antara keduanya yaitu dalam metode analisa, bangunan teoritik dan semangat pembebasan yang terkandung didalamnya. Jika paradigma kritis ini bisa diterapkan dikalangan warga pergerakan, maka kehidupan keagamaan akan berjalan dinamis, berjalanya proses pembentukan kultur demokratis dan penguatan civil society akan segera dapat terwujud. Dan kenyataan ini terwujud manakala masing-masing anggota PMII memahami secara mendalam pengertian, kerangka paradigmatic dan konsep teoritis dari paradigma kritis yang dibangun oleh PMII.
            Dalam pandangan PMII, paradigma kritis saja tidak cukup untuk melakukan transformasi sosial, karena paradigma kritis hanya berhenti pada dataran metodologis konsepsional untuk mewujudkan masyarakat yang komunikatif dan sikap kritis dalam memandang realitas. Paradigma kritis hanya mampu menelanjangi berbagai tendensi ideologi, memberikan perspektif kritis dalam wacana agama dan sosial, namun ia tidak mampu memberikan perspektif perubahan pasca masyarakat terbebaskan. Pasca seseorang terbebaskan melalui perspektif kritis, paradigma kritis tidak memberikan tawaran yang praktis. Dengan kata lain, paradigma kritis hanya mampu melakukan analisis tetapi tidak mampu melakukan organizing, menjembatani dan memberikan orientasi kepada kelompok gerakan atau rakyat. Paradigma kritis masih signifikan untuk digunakan sebagai alat analisis social, tetapi kurang mampu untuk digunakan dalam perubahan sosial. Karena ia tidak dapat memberikan perspektif dan orientasi sebagai kekuatan bersejarah dalam masyarakat untuk bergerak. Karenanya, paradigma kritis yang digunakan di PMII adalah kritik yang mampu mewujudkan perubahan sehingga menjadi paradigma kritis transformatif.
Paradigma kritis transformatif PMII dipilih sebagai upaya menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dari bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan demikian paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang bisa digunakan oleh masyarakat PMII mulai dari ranah filosofis sampai praksis.

  • DASAR PEMIKIRAN PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF PMII

Ada bebarapa alasan yang menyebabkan PMII harus memilih paradigma kritis sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.
Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola pikir positivistic modernisme. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi sebuah berhala yang mengahruskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan ditinggalkandan dipinggirkan. Eksistensinyapun tidak diakui. Akibatya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. Dalam kondisi seperti ini maka penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.
Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tradisi, kultur maupun kepercayaan. Kondisi seperti ini sangat memerlukan paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
Ketiga, sebagaimana kita ketahui selama pemerintahan Orde Baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonic. Akibatnya ruang publik (Public sphere) masyarakat hilang karena direnggut oleh kekuatan negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat, sehingga proses demokratisasi terganggu karena sikap kritis diberangus. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil society dihadapan negara, maka paradigma kritis merupakan alternatif yang tepat.
Keempat, selama pemerintahan orde baru yang menggunakan paradigma keteraturan (order paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan melalui ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai wakil dari masyarakat tardisional. Selain itu, paradigma keteraturan memiliki konsekuensi logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan social yang meniscayakan adanya gejolak social yang harus ditekan seecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual dan perlahan. Dalam suasana demikian, massa PMII secara sosilogis akan sulit berkembangkarena tidak memiliki ruang yang memadai untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.
Kelima, Selain belenggu social politik yang dilakukan oleh negara dan sistem kapitalisme global yang terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, factor yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya, secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama. Terjadi dogmatisme agama yang berdampak pada kesulitan membedakan mana yang dogma dan mana yang pemikiran terhadap dogma. Agamapun menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Menjadi penting artinya sebuah upaya dekonstruksi pemahaman keagamaan melalui paradigma kritis.                             


[1] Keputusan Kongres Medan 2000, Kutai 2003, dan Bogor 2005

MEMAHAMI SEJARAH DAN MAKNA FILOSOFIS PMII



ø Sejarah PMII
PMII, atau kepanjangan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan  payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa NU bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis sekali. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU (PMII), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini sudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam struktur organisasi IPNU, yang kemudian departemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama tiga hari (14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah Wonokromo Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid  memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu… maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU  pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Adapun ke-13 orang personal tersebut (pendiri organisasi PMII) adalah :
1. Cholid Mawardi (Jakarta)
2. Sa’id Budairy (Jakarta)
3. M. Shobic Ubaid (Jakarta)
4. M. Makmun Syukri BA (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta)
7. Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suady (Surakarta)
9. Laili Mansur (Surakarta)
10. Abd. Wahab Jailani (Semarang)
11. Hisbullah Huda (Surabaya)
12. M. Cholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Husain (Makasar)
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi  lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka (Mahasiswa NU), bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan  yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah under bow-nya partai Masyumi, sehinggga wajar kalau mahasiswa NU  di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur (1987), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidak puasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis (Muhammadiyah) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Neo-Modernis (Masyumi).
Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dan makna dari kelahiran PMII:
¨       Adanya PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
¨       PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim  (NU) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
¨       PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlus sunnah Wal jama’ah dikalangan mahasiswa.
¨       Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang pada saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka  (Mahasiswa NU) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
¨       Lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.
Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai Deklarasi Tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa bertanggung jawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.
ø Identitas dan Citra Diri PMII
APA itu identitas PMII, seperti empat huruf kata ‘PMII’, yaitu Suatu wadah atau perkumpulan organisasi kemahasiswaan dengan label ‘Pergerakan’ yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan:
Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang;
(1)   Bertaqwa kepada Allah swt
(2)   Berbudi luhur
(3)   Berilmu
(4)   Cakap, dan
(5)   Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (Bab IV AD PMII)
Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna (kamil), yaitu makhluk Ulul Albab.
Kata “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” jika dibedah lebih lanjut adalah:
  1. Pergerakan bisa didefinisikan sebagai “lalu-lintas gerak”, gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik dari ordinat A ke ordinat B. Jadi “Pergerakan” melampaui “gerak” itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan gawang dan ……Itu yang namanya “pergerakan” bola. Kesimpulannya,  pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif adalah kepekaan dan kekritisan, dan kekritisan butuh kecerdasan. …Kenapa “Pergerakan” bukan “Perhimpunan”? kalau berhimpun terus kapan bergeraknya… Artinya bahwa, “pergerakan” bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/ organisasi tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu sendiri.
  2. Mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan yang melekat, mahasiswa sebagai “wakil” rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijakan penguasa dll
  3. Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasan sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang berlandaskan ideology (agama). Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam, selanjutnya sunnah nabi dan ijtihad para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah waljama’ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja –dengan varian didalamnya– sebagai landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
  4. Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata ‘Indonesia’ pada organisasi ini, tidak lain untuk menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan nasionalis, punya tanggung-jawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang.
(kalo’ mencari organisasi mahasiswa yang nasionalis dan agamis maka pilihan itu jatuh pada PMII)
Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia,  yang mendasarkan pada agama Islam dan sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan.
Islam-Indonesia (dua kata digabung)  juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/ Indonesia, Islam-Indonesia adalah Islam lokal “bukan Islam Arab secara persis”, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang “bersinkretisme” dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan ajaran aswaja.
ø Seputar Ideologi PMII
Pada paruh ke-2 abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok intelektual ‘kiri’ Eropa yang mendasari new-left movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok madzhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas bahwa perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu seputar perannya sebagai “wadah” kebenaraan atau bahkan sebagai “sumber” kebenaran itu sendiri, yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang dianggap sebagai landasan kebenaran yang paling fundamental (mendasar) makanya tidak terlalu salah bila disebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya kemudiaan ideologi yang ada tidak bebas dari kepentingan –prinsip peng-ada-an; sesuatu materi diciptakan/ diadakan pasti punya maksud dan tujuan–, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada pengistemewaan/ pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya tujuaan “hanya kekuasaan” misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki ummat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak menindas sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya ideologi masih diperlukan.
Dalam ranah PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya –yang pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai identitas PMII– yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam Qonun Asasi di PMII atau itu tadi yang disebut… Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, proses keyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk keyakinan itu terletak dari pola relasi/ hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara manusia dengan sekelilingnya.
ø Landasan Teologis dan Filosofis PMII
Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Sublimasi ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal, transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang dimaksud bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus disadari walaupun bahwa Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia juga menampakkan diri sebagai entitas dengan identitas sangat kultural, antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradoks –atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition– menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang ganda itu mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan lil alamin.
Dari sini, keharusan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai salah satu sublimasi identitas kelembagaan. Ini berarti, PMII  menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap meyakini universalitas, transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong, berada diawang-awang dan jauh dari latar sosial dan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu menempatkan identitas besar itu menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan terhadap lingkungan besarnya, “Indonesia”. Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu relevant, realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi, lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan normatif, melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaannya.
Endingnya, proses yang runtut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab.
Kesimpulan:
  1. Landasan teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
  2. Identitas filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi transformatif dan Ruang ke-Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.
  3. Tranformasi dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan tampilnya  identitas personal dan kelembagaan yang ulil albab.
CITRA DIRI MAHLUK ULUL ALBAB
Kader PMII Dapat Mewujudkan:
Tri Motto: Dzikir Fikir Amal Sholeh
Tri Khidmad: Taqwa Intelektual Profesional
Tri Komitmen: Kebenaran Kejujuran Keadilan

ø Landasan Filosofis Lambang PMII
Pencipta lambang           : H. Said Budairy
Makna Lambang            : ……………………
I.     Bentuk                  
  • Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
  • Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
  • 5 (lima) bintang sebelah atas, menggambarkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (Khulafa’ur Rasyidin)
  • 4 (empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat madzhab yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  • 9 (sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti ganda, yaitu:
  1. Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat imam madzhab ASWAJA itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
  2. Sembilan bintnag juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam di Indonesia yang disebut Wali Songo.
II.   Warna
  • biru, sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan, biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan wawasan nusantara.
  • Biru muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu, budi pekerti dan taqwa.
  • kuning, sebagaimana perisai sebelah atas, berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.
Wallahulmuwafiq ilaa aqwamith thoriq
Wassalamu’alaikum…