Pokok-Pokok Perubahan UU PPN Baru
1. Objek
Pajak
Ekspor Jasa
Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Undang-undang
PPN yang saat ini berlaku hanya mengenal ekspor BKP. Ke depan, guna menetralkan
pembebanan PPN dan menambah daya saing untuk kegiatan jasa yang dilakukan oleh
pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud
dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud
akan dikenakan PPN dengan tarif 0%.
2. Bukan
Objek
a. Penyerahan
Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Usaha
Untuk membantu cash
flow perusahaan dan memberikan kemudahan administrasi, maka pengalihan BKP
yang dilakukan dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha, akan tidak dikenakan PPN, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima
pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.
b. Penetapan
Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
Untuk lebih
memberikan kepastian hukum, penetapan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN
yang selama ini diatur dengan peraturan pemerintah dinaikan menjadi batang
tubuh undang-undang.
c. Daging, Telur, Susu, Sayur-sayuran
dan Buah-buahan
Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan
cara membantu tersedianya sumber gizi yang harganya terjangkau maka daging
segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar
ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.
d. Barang dan Jasa
yang Telah Dikenakan Pajak Daerah
Untuk
menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama maka
objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari
pengenaan PPN, yaitu:
1) barang hasil
pertambangan galian C UU PDRD;
2) makanan dan
minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya;
3) jasa perhotelan; dan
4) jasa boga/katering.
e. Jasa Keuangan
Untuk
memberikan perlakuan yang sama, jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun,
termasuk perbankan syariah, ditetapkan sebagai bukan JKP, sehingga atas
penyerahannya tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, tidak ada perbedaan
perlakuan PPN bagi Wajib Pajak yang berbeda status tetapi melakukan kegiatan
usaha yang sama.
f. Pasokan Barang Hasil Pertambangan
Umum sebagai Bahan Baku untuk Industri Energi Dalam Negeri
Untuk menjamin
ketersediaan bahan baku untuk industri energi dalam negeri, barang hasil
pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya, termasuk batubara,
tetap dikategorikan sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.
3. Faktur
Pajak dan Saat Pembuatannya
Beberapa hal
berkenaan dengan penerbitan Faktur Pajak diberikan kemudahan, kesederhanaan dan
kepastian hukum dalam UU PPN ini, yaitu:
a. Hanya akan
dikenal satu jenis Faktur Pajak. Tidak ada lagi Faktur Pajak Standar dan Faktur
Pajak Sederhana.
b. Saat Pembuatan
Faktur Pajak
Dalam rangka
meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak
adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal
pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
Dengan pengaturan
ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice)
yang berbeda dengan Faktur Pajak.
4. Pengkreditan
Pajak Masukan
a. Untuk
mencegah penggunaan Faktur Pajak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam UU PPN yang baru dipertegas bahwa selain
pemenuhan syarat formal Faktur Pajak, maka suatu Pajak Masukan untuk
dapat dikreditkan harus juga memenuhi syarat material, yaitu adanya
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan yang
tercantum dalam Faktur Pajak.
b. Pengusaha yang belum
berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian
barang modal.
c. Namun demikian,
apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha yang bersangkutan ternyata gagal
berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan
pengembaliannya wajib dibayar kembali.
5. .Deemed
Pajak Masukan
Untuk lebih
memberikan kepastian hukum dan memberikan kemudahan kepada Pengusaha Kena Pajak
tertentu yang mengalami kesulitan mengikuti mekanisme PK-PM secara normal, atau
mengalami kesulitan dalam menghitung PPN yang harus dibayar, misalnya Pedagang
Eceran atau petani kecil, maka dalam dalam UU PPN yang baru diatur mengenai penggunaan deemed
Pajak Masukan, yaitu pedoman untuk menghitung besarnya Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak berdasarkan:
a. jumlah
peredaran usaha/omset;
b. sektor/kegiatan
usaha tertentu.
6.
Retur/Pengembalian Jasa Kena Pajak
Agar paralel
dengan perlakuan PPN untuk retur/pengembalian Barang Kena Pajak, dalam UU PPN yang baru diatur mengenai perlakuan PPN
atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau
seluruhnya.
7. Saat
Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa PPN
Untuk membantu
likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT
Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua
puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam UU KUP,
diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
8. Restitusi
dan Pengembalian Pendahuluan
a. Restitusi
(umum)
Apabila dalam
suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun
buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami
lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan
untuk restitusi di setiap Masa Pajak.
b. Restitusi untuk Orang Pribadi
Pemegang Paspor Luar Negeri
Dengan
pertimbangan bahwa barang bawaan yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang
asing yang bukan penduduk Indonesia merupakan barang yang akan dikonsumsi di
luar negeri dan untuk menarik wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia,
maka PPN dan PPn BM yang dibayar oleh orang asing tersebut atas barang-barang
yang dibawanya ke luar negeri diberikan pengembalian. Oleh karena itu, dalam UU PPN diatur pemberian pengembalian PPN dan PPn
BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi
pemegang paspor luar negeri, dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp 500
ribu.
c. Pengembalian
Pendahuluan
1) Dengan
pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik
dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
pajaknya berdasarkan self assessment, Wajib Pajak tertentu yang memiliki
risiko rendah dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa
melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian
apabila diperlukan.
2) Sanksi yang
dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) per bulan,
kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku
sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.
9. Pemusatan
Tempat PPN Terutang
Dalam rangka
mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, dalam UU PPN yang baru diberikan kemudahan prosedur
penetapan pemusatan tempat terutang, yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan
(bukan lagi permohonan) secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
10. Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
a. Dengan tujuan
untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi
regulasinya, maka tarif tertinggi PPn BM dinaikkan dari 75% menjadi 200%. Tarif
PPnBM tertinggi sebesar 200% ini hanya akan diterapkan apabila benar-benar
diperlukan.
b. Barang yang
apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan masyarakat dan moral masyarakat,
serta mengangu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol, tidak lagi
dikategorikan sebagai barang mewah, karena lebih tepat untuk dikategorikan
sebagai barang yang dikenakan cukai.
11. Fasilitas Perpajakan
Untuk lebih
memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan yang belum
diatur dalam Undang-Undang antara lain untuk:
a. perwakilan
negara asing/badan-badan internasional;
b. impor dan
penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai
pinjaman/hibah/bantuan luar negeri;
c. listrik dan
air;
d. kegiatan
penanggulangan bencana alam nasional;
e. menjamin
tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus
barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan
antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana
transportasi yang tersedia sangat tinggi;
f. bahan baku
kerajinan perak.
12. Tanggung Renteng
Pengaturan mengenai tanggung renteng Pajak Pertambahan
Nilai—yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sampai dengan perubahan kedua
atas Undang-Undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan
kemudian dihapus dari UU KUP yang baru karena merupakan pengaturan
material—diatur kembali dalam UU PPN yang baru mengingat ketentuan ini masih
sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar