Minggu, 14 Oktober 2012

MEMAHAMI SEJARAH DAN MAKNA FILOSOFIS PMII



ø Sejarah PMII
PMII, atau kepanjangan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Indonesian Moslem Students Movement), dalam bahasa jawanya adalah Anak Cucu organisasi NU yang lahir dari rahim Departemen perguruan Tinggi IPNU.
Lahirnya PMII bukannya berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan. Hasrat mendirikan organisasi NU sudah lama bergolak. namun pihak NU belum memberikan green light. Belum menganggap perlu adanya organisasi tersendiri buat mewadahi anak-anak NU yang belajar di perguruan tinggi. melihat fenomena yang ini, kemauan keras anak-anak muda itu tak pernah kendur, bahkan semakin berkobar-kobar saja dari kampus ke kampus. hal ini bisa dimengerti karena, kondisi sosial politik pada dasawarsa 50-an memang sangat memungkinkan untuk lahirnya organisasi baru. Banyak organisasi Mahasiswa bermunculan dibawah naungan  payung induknya. misalkan saja HMI yang dekat dengan Masyumi, SEMI dengan PSII, KMI dengan PERTI, IMM dengan Muhammadiyah dan Himmah yang bernaung dibawah Al-Washliyah. Wajar saja jika kemudiaan anak-anak NU ingin mendirikan wadah tersendiri dan bernaung dibawah panji bintang sembilan, dan benar keinginan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) pada akhir 1955 yang diprakarsai oleh beberapa tokoh pimpinan pusat IPNU.
Namun IMANU tak berumur panjang, dikarenakan PBNU menolak keberadaannya. ini bisa kita pahami kenapa NU bertindak keras. sebab waktu itu, IPNU baru saja lahir pada 24 Februari 1954. Apa jadinya jika organisasi yang baru lahir saja belum terurus sudah menangani yang lain? hal ini logis sekali. Jadi keberatan NU bukan terletak pada prinsip berdirinya IMANU (PMII), tetapi lebih pada pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi.
Oleh karenanya, sampai pada konggres IPNU yang ke-2 (awal 1957 di pekalongan) dan ke-3 (akhir 1958 di Cirebon). NU belum memandang perlu adanya wadah tersendiri bagi anak-anak mahasiswa NU. Namun kecenderungan ini sudah mulai diantisipasi dalam bentuk kelonggaran menambah Departemen Baru dalam struktur organisasi IPNU, yang kemudian departemen ini dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU.
Dan baru setelah konferensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960 di kaliurang), disepakati untuk mendirikan wadah tersendiri bagi mahsiswa NU, yang disambut dengan berkumpulnya tokoh-tokoh mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU, dalam sebuah musyawarah selama tiga hari (14-16 April 1960) di Taman Pendidikan Putri Khadijah Wonokromo Surabaya. Dengan semangat membara, mereka membahas nama dan bentuk organisasi yang telah lama mereka idam-idamkan.
Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU KH. Idam Kholid  memberikan lampu hijau. Bahkan memberi semangat pada mahasiswa NU agar mampu menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang mempunyai prinsip: Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu… maka, lahirlah organisasi Mahasiswa dibawah naungan NU  pada tanggal 17 April 1960. Kemudian organisasi itu diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Adapun ke-13 orang personal tersebut (pendiri organisasi PMII) adalah :
1. Cholid Mawardi (Jakarta)
2. Sa’id Budairy (Jakarta)
3. M. Shobic Ubaid (Jakarta)
4. M. Makmun Syukri BA (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta)
7. Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suady (Surakarta)
9. Laili Mansur (Surakarta)
10. Abd. Wahab Jailani (Semarang)
11. Hisbullah Huda (Surabaya)
12. M. Cholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Husain (Makasar)
Disamping latar belakang lahirnya PMII seperti diatas, sebenarnya pada waktu itu anak-anak NU yang ada di organisasi  lain seperti HMI merasa tidak puas atas pola gerak HMI. Menurut mereka (Mahasiswa NU), bahwa HMI sudah berpihak pada salah satu golongan  yang kemudian ditengarai bahwa HMI adalah under bow-nya partai Masyumi, sehinggga wajar kalau mahasiswa NU  di HMI juga mencari alternatif lain. Hal ini juga diungkap oleh Deliar Nur (1987), beliau mengatakan bahwa PMII merupakan cermin ketidak puasan sebagian mahasiswa muslim terhadap HMI, yang dianggap bahwa HMI dekat dengan golongan modernis (Muhammadiyah) dan dalam urusan politik lebih dekat dengan Neo-Modernis (Masyumi).
Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan atau pokok-pokok pikiran dan makna dari kelahiran PMII:
¨       Adanya PMII karena ketidakmampuan Departemen Perguruan Tinggi IPNU dalam menampung aspirasi anak muda NU yang ada di Perguruan Tinggi .
¨       PMII lahir dari rekayasa politik sekelompok mahasiswa muslim  (NU) untuk mengembangkan kelembagaan politik menjadi underbow NU dalam upaya merealisasikan aspirasi politiknya.
¨       PMII lahir dalam rangka mengembangkan paham Ahlus sunnah Wal jama’ah dikalangan mahasiswa.
¨       Bahwa PMII lahir dari ketidakpuasan mahasiswa NU yang pada saat itu ada di HMI, karena HMI tidak lagi mempresentasikan paham mereka  (Mahasiswa NU) dan HMI ditengarai lebih dekat dengan partai MASYUMI.
¨       Lahirnya PMII merupakan wujud kebebasan berpikir, artinya sebagai mahasiswa harus menyadari sikap menentukan kehendak sendiri atas dasar pilihan sikap dan idealisme yang dianutnya.
Dengan demikian ide dasar pendirian PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri Bahwa kemudian harus bernaung dibawah panji NU itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis semata, misalnya karena kondisi pada saat itu yang memang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Tetapi, keterikatan PMII kepada NU memang sudah terbentuk dan sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita dan bahkan pola berpikir, bertindak dan berperilaku.
Kemudian PMII harus mengakui dengan tetap berpegang teguh pada sikap Dependensi timbul berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak dalam bersikap dan berperilaku untuk sebuah kebebasan menentukan nasib sendiri.
Oleh karena itu haruslah diakui, bahwa peristiwa besar dalam sejarah PMII adalah ketika dipergunakannya istilah Independent dalam deklarasi Murnajati tanggal 14 Juli 1972 di Malang dalam MUBES III PMII, seolah telah terjadi pembelahan diri anak ragil NU dari induknya.
Sejauh pertimbangan-pertimbangan yang terekam dalam dokumen historis, sikap independensi itu tidak lebih dari proses pendewasaan. PMII sebagai generasi muda bangsa yang ingin lebih eksis dimata masyarakat bangsanya. Ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatar belakangi sikap independensi PMII tersebut.
Pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan-insan Indonesia yang berbudi luhur, taqwa kepada Allah SWT, berilmu dan cakap serta tanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Kedua, PMII selaku generasi muda indonesia sadar akan perannya untuk ikut serta bertanggung jawab, bagi keberhasilan pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Ketiga, bahwa perjuangan PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai Deklarasi Tawangmangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap, dan pembinaan rasa bertanggung jawab.
Berdasarkan pertimbangan itulah, PMII menyatakan diri sebagai organisasi Independent, tidak terikat baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya komitmen terhadap perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.
ø Identitas dan Citra Diri PMII
APA itu identitas PMII, seperti empat huruf kata ‘PMII’, yaitu Suatu wadah atau perkumpulan organisasi kemahasiswaan dengan label ‘Pergerakan’ yang Islam dan Indonesia yang mempunyai tujuan:
Terbentuknya Pribadi Muslim Indonesia Yang;
(1)   Bertaqwa kepada Allah swt
(2)   Berbudi luhur
(3)   Berilmu
(4)   Cakap, dan
(5)   Bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (Bab IV AD PMII)
Menuju capaian ideal sebagai mahluk Tuhan, sebagai ummat yang sempurna (kamil), yaitu makhluk Ulul Albab.
Kata “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” jika dibedah lebih lanjut adalah:
  1. Pergerakan bisa didefinisikan sebagai “lalu-lintas gerak”, gerak dalam pengertian fisika adalah perpindahan suatu titik dari ordinat A ke ordinat B. Jadi “Pergerakan” melampaui “gerak” itu sendiri, karena pergerakan berarti dinamis, gerak yang terus-menerus. Ilustrasinya demikian, Misalnya seorang Alexandro Nesta menendang bola, mengarahkannya kepada Zambrotta, itu berarti suatu gerakan bola dari Nesta ke Zambrotta (hanya itu). Bandingkan, Nesta menendang bola ke Zambrotta, lalu mengoperkan bola itu kepada Vieri, dengan trik cantik Vieri menendang bola persis di pojok atas kanan gawang dan ……Itu yang namanya “pergerakan” bola. Kesimpulannya,  pergerakan meniscayakan dinamisasi, tidak boleh stagnan (berhenti beraktivitas) dan beku, beku dalam pengertian kaku, tidak kreatif-inovatif. Prasyarat kreatif-inovatif adalah kepekaan dan kekritisan, dan kekritisan butuh kecerdasan. …Kenapa “Pergerakan” bukan “Perhimpunan”? kalau berhimpun terus kapan bergeraknya… Artinya bahwa, “pergerakan” bukan hanya menerangkan suatu perkumpulan/ organisasi tetapi juga menerangkan sifat dan karakter organisasi itu sendiri.
  2. Mahasiswa adalah sebutan orang-orang yang sedang melakukan studi di perguruan tinggi, dengan predikat sebutan yang melekat, mahasiswa sebagai “wakil” rakyat, agen perubahan, komunitas penekan terhadap kebijakan penguasa dll
  3. Islam, Agama Islam yang dijadikan basis landasan sekaligus identitas bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang berlandaskan ideology (agama). Karenanya jelas bahwa rujukan PMII adalah kitab suci agama Islam, selanjutnya sunnah nabi dan ijtihad para sahabat, yang itu terangkum dalam pemahaman jumhur, yaitu ahlussunnah waljama’ah. Jadi Islam ala PMII adalah Islam yang mendasarkan diri pada aswaja –dengan varian didalamnya– sebagai landasan teologis (keyakinan keberagamaan).
  4. Indonesia. Kenapa founding fathers PMII memasukkan kata ‘Indonesia’ pada organisasi ini, tidak lain untuk menunjukkan sekaligus mengidealkan PMII sebagai organisasi kebangsaan, organisasi mahasiswa yang berpandangan nasionalis, punya tanggung-jawab kebangsaan, kerakyataan dan kemanusiaan. Juga tidak tepat jika PMII hanya dipahami sebagai organisasi keagamaan semata. Jadi keislaman dan keindonesiaan sebagai landasan PMII adalah seimbang.
(kalo’ mencari organisasi mahasiswa yang nasionalis dan agamis maka pilihan itu jatuh pada PMII)
Jadi PMII adalah pergerakan mahasiswa yang Islam dan yang Indonesia,  yang mendasarkan pada agama Islam dan sejarah, cita-cita kemerdekan dan laju perjalanan bangsa ini kedepan.
Islam-Indonesia (dua kata digabung)  juga bisa dimaknai Islam yang bertransformasi ke ranah Nusantara/ Indonesia, Islam-Indonesia adalah Islam lokal “bukan Islam Arab secara persis”, tapi nilai universalitas Islam atau prinsip nilai Islam yang “bersinkretisme” dengan budaya nusantara menjadi Islam Indonesia. Ini adalah karakter Islam PMII yang sejalan dengan ajaran aswaja.
ø Seputar Ideologi PMII
Pada paruh ke-2 abad kemarin dan gaungnya hingga hari ini (digarahi oleh kelompok intelektual ‘kiri’ Eropa yang mendasari new-left movement yang terkenal itu, sebut saja; kelompok madzhab frankfurt, TW Adorno, Jurgen Habermas bahwa perdebatan mengenai ideologi masih mempunyai ruang, terlebih ideologi menuai kritik dan evaluasi terhadapnya. Kritik itu seputar perannya sebagai “wadah” kebenaraan atau bahkan sebagai “sumber” kebenaran itu sendiri, yang disatu sisi dinilai sebagai pencerah ummat tetapi disisi lain sebagai alat hegemoni ummat.
Ideologi memang dianggap sebagai landasan kebenaran yang paling fundamental (mendasar) makanya tidak terlalu salah bila disebut sumber kebenaran sebagai ruh dari operasi praksis kehidupan. Tetapi dalam prosesnya kemudiaan ideologi yang ada tidak bebas dari kepentingan –prinsip peng-ada-an; sesuatu materi diciptakan/ diadakan pasti punya maksud dan tujuan–, ironisnya kepentingan yang pada awalnya untuk kebaikan sesama tanpa ada pengistemewaan/ pengklasifikasian kemudian berubah menjadi milik segolongan tertentu. Hasilnya ideologi menjadi tameng kebenaraan ummat tertentu, digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak selayaknya tujuaan “hanya kekuasaan” misalnya. Maka dalam konteks ini ideologi mendapat serangan habis-habisan.
Tanpa bermaksud memutus perdebatan sosiologi pengetahuan seperti diatas, Ideologi akan tetap memiliki ummat, ideologi masih memiliki pengikut tatkala ia masih rasional masih kontekstual tidak pilih kasih (diskriminatif) tidak menindas sehingga layak dijadikan sumber kebenaran, ketika peran itu masih melekat niscaya ideologi masih diperlukan.
Dalam ranah PMII, ideologi PMII digali dari sumbernya –yang pada pembicaraan sebelumnya disebut sebagai identitas PMII– yaitu keislaman dan keindonesiaan. Sublimasi atau perpaduan antara dua unsur diatas menjadi rumusan materi yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan PMII, ya semacam Qonun Asasi di PMII atau itu tadi yang disebut… Ideologi. NDP berisi rumusan ketauhidan, proses keyakinan kita terhadap Tuhan. Bentuk keyakinan itu terletak dari pola relasi/ hubungan antar komponen di alam ini, pola hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara Tuhan dan manusia, antar manusia dan antara manusia dengan sekelilingnya.
ø Landasan Teologis dan Filosofis PMII
Landasan filosofis dan teosofis PMII sebenarnya tergali dalam rumusan NDP dan turunannya kebawah. Artinya bahwa NDP dibangun atas dasar dua sublimasi besar yaitu ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.
Sublimasi ke-Islaman berpijak dari kerangka paradikmatik bahwa Islam memiliki kerangka besar yang universal, transendental, trans-historis dan bahkan trans-personal. Universalisme atau variasi-variasi identitas Islam lainnya yang dimaksud bermuara pada satu gagasan besar, bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan.
Namun, harus disadari walaupun bahwa Islam memiliki universalitas atau yang lainnya, ia juga menampakkan diri sebagai entitas dengan identitas sangat kultural, antropologis, historis, sosiologis dan bahkan politis.
Dua gambaran tentang Islam yang paradoks –atau minimal kontra produktif dan bahkan saling berbinary opposition– menghadapkan believer pada tingkat minimal untuk melakukan human exercise bagaimana Islam dalam identitas yang ganda itu mampu disandingkan, dan bahkan dileburkan menjadi satu identitas besar, rahmatan lil alamin.
Dari sini, keharusan PMII untuk mengambil inisiatif dengan menempatkan Islam sebagai salah satu sublimasi identitas kelembagaan. Ini berarti, PMII  menempatkan Islam sebagai landasan teologis untuk dengan tetap meyakini universalitas, transhistoris dan bahkan transpersonalnya. Lebih dari itu, Keyakinan teologis tersebut tidak semata-mata ditempatkan sebagai landasan normatifnya, melainkan disertai upaya bagaimana Islam teologis itu mampu menunjukkan dirinya dalam dunia riel. Ini berarti, PMII akan selalu menempatkan Islam sebagai landasan normatif yang akan selalu hadir dalam setiap gerakan-gerakan sosial dan keagaamaan yang dimilikinya.
Selain itu, PMII sebagai konstruksi besar juga begitu menyadari bahwa ia tidaklah hadir dalam ruang hampa, kosong, berada diawang-awang dan jauh dari latar sosial dan politik. Tetapi, ia justru hadir dan berdiam diri dalam satu ruang identitas besar, Indonesia dengan berbagai kemajemukan watak kulturalnya, sosiologis dan hingga antropologisnya.
Oleh karena, identitas diri yang tak terpisahkan dengan identitas besar Indonesia mengharuskan PMII untuk selalu menempatkan identitas besar itu menjadi salah satu sublimasi selain ke-Islaman.
Penempataan itu berarti menempatkan PMII sebagai institusi besar yang harus selalu melakukan pembacaan terhadap lingkungan besarnya, “Indonesia”. Hal ini dalam rangka membangun aksi-aksi sosial, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang selalu relevant, realistik, dan transformatik.
Dua penjelasan kaitannya dengan landasan sublimatif PMII diatas, dapat ditarik kedalam satu konstruksi besar bahwa PMII dalam setiap bangunan gerakan dan institusionalnya tetap menghadirkan identitas teologisnya, identitas Islam. Tetapi, lebih dari itu, landasan teologis Islam justru dihadirkan bukan hanya sebatas dalam bentuk pengaminan secara verbal dan normatif, melainkan bagaimana landasan teologis ini menjadi transformable dalam setiap gerakan dan aksi-aksi institusionalnya. Dengan begitu, mau tidak mau PMII harus mempertimbangkan tempat dimana ia lahir, berkembang, dan melakukan eksistensi diri, tepatnya ruang ke-Indonesiaan. Yang berarti, secara kelembagaan PMII harus selalu mempertimbangkan gambaran utuh konstruksi besar Indonesia dalam membangun setiap aksi-aksi kelembagaannya.
Endingnya, proses yang runtut transformasi landasan teologis Islam dan konstruksi besar ke-Indonesia-an sebagai medium pembacaan objektifnya, maka akan muncul citra diri kader atau citra diri institusi yang ulil albab.
Kesimpulan:
  1. Landasan teologis PMII adalah Islam-Keindonesiaan.
  2. Identitas filosofis PMII adalah citra diri yang dibangun melalui Islam sebagai teologi transformatif dan Ruang ke-Indonesia-an sebagai media pembacaan objektif.
  3. Tranformasi dua hal, landasan teologis dan identitas filosofis akan berakhir dengan tampilnya  identitas personal dan kelembagaan yang ulil albab.
CITRA DIRI MAHLUK ULUL ALBAB
Kader PMII Dapat Mewujudkan:
Tri Motto: Dzikir Fikir Amal Sholeh
Tri Khidmad: Taqwa Intelektual Profesional
Tri Komitmen: Kebenaran Kejujuran Keadilan

ø Landasan Filosofis Lambang PMII
Pencipta lambang           : H. Said Budairy
Makna Lambang            : ……………………
I.     Bentuk                  
  • Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
  • Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
  • 5 (lima) bintang sebelah atas, menggambarkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (Khulafa’ur Rasyidin)
  • 4 (empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat madzhab yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  • 9 (sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti ganda, yaitu:
  1. Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat imam madzhab ASWAJA itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan tinggi dan penerang umat manusia.
  2. Sembilan bintnag juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar Agama Islam di Indonesia yang disebut Wali Songo.
II.   Warna
  • biru, sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan digali oleh warga pergerakan, biru juga menggambarkan lautan Indonesia yang mengelilingi kepulauan Indonesia dan merupakan kesatuan wawasan nusantara.
  • Biru muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu, budi pekerti dan taqwa.
  • kuning, sebagaimana perisai sebelah atas, berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan.
Wallahulmuwafiq ilaa aqwamith thoriq
Wassalamu’alaikum…

2 komentar:

  1. Asslmkm. ada kesalahan dalam penulisan salah satu pendiri PMII, bukan Ahmad Husain Tapi Ahsan Husain. terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. waalaikum salam....
      mhon maaf dan terima ksih atas kritikannya, sy sngt berharap kritikan yg brsifat membangun demi perbaikan blog ini..
      salam silaturahmi....

      Hapus